Arsip | Juni, 2013

andi muhammad adha, 1ka02, 10112765

14 Jun

KEBUDAYAAN SUKU BUGIS

 

Masyarakat dan Kebudayaan “Suku Bugis” di Sulawesi Selatan
 
Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan.  
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang-orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
 
Sejarah Perkembangan Suku Bugis
 
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
 
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
 
Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
 
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
 
Adat Istiadat
 
 
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang Selatan’. 
 
Adat Pernikahan 
 
 
Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan ideal:
1. Assialang Maola
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu.
2. Assialanna Memang
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu.
3. Ripaddeppe’ Abelae
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga. 
 
Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5.  perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu
 
Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1. Lettu ( lamaran)
    Ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk 
    menyampaikan keinginannya untu melamar calon mempelai perempuan.
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
    Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan
    waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja 
    perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya
3. Madduppa (Mengundang)
    Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah 
    pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang
    akan dilaksanakan.
4. Mappaccing (Pembersihan)
    Ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum 
    bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai, 
    dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati 
    untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun 
    pacci (daun pacar),kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah 
    dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa 
    calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.
 
Pasangan Pengantin
 
 
 
Hari pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja , ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki.
 
 
 
mappaenre botting :
Beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.
 
Kepercayaan
 
Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
 
Hukum Adat
 
Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. 
 
Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhiketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.
 
Mata Pencaharian 
 
 
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
 
 
 
Adat Panen
 
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. 
 
Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.
 
Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.
 
Bahasa Suku Bugis
 
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
 
 
Aksara Bugis
 
 
Kesenian

Alat musik:
1.Kacapi(kecapi) 
   Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, 
   Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau 
   diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang  
   memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. 
   Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, 
   bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
2. Sinrili
    Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan 
    membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain 
    duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
3. Gendang
    Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar
    seperti rebana.
4. Suling
   Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan 
   dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah
   Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau
   acara penjemputan tamu.
 
Seni Tari
 
• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika 
   kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran 
   dan kehormatan
• Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang 
   sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan 
   perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria), 
   namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari
   Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta Panen).
 
Makanan Khas Sulawesi Selatan
 
1. COTO MAKASSAR
2. KONRO
3. SOP SAUDARA
4. PISANG EPE’
5. PISANG IJO
6. PALU BASSAH
7. PALA BUTUNG
8. NASU PALEKKO (Bebek)
 
Permainan
Beberapa permainan khas yang sering dijumpai di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo, Mappadendang, Ma’gasing, Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga, Mappasajang (layang-layang), Malonggak
 
Senjata Suku Bugis
 
 KAWALI senjata khas suku bugis
 
 
Pendapat Saya :
 
Kebudayaan Suku Bugis sangat beraneka ragam bila dibandingkan dengan kebudayaan lain mulai dari segi adat istiadat hingga keseniannya yang  cukup membuat ketertarikan yang luar biasa untuk bertemu dengan suku bugis langsung. 
 

andi muhammad adha, 1ka02, 10112765

7 Jun

Perkembangan Batik di Indonesia 

 Batik Indonesia Resmi Diakui UNESCO Batik Indonesia secara resmi diakui UNESCO dengan dimasukkannya ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda Warisan Manusia (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity) dalam Sidang ke-4 Komite Antar-Pemerintah tentang Warisan Budaya Tak-benda di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Seperti dilansir ANTARA, dalam siaran pers dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, UNESCO mengakui batik Indonesia bersama dengan 111 nominasi mata budaya dari 35 negara, dan memasukkannya dalam Daftar Representatif 76 mata budaya.

UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal. hal itu terlihat dari bayi yang digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kain batik. Selain itu, pakaian dengan corak sehari-hari juga dipakai secara rutin dalam kegiatan bisnis dan akademis. Sementara berbagai corak lainnya dipakai dalam upacara pernikahan, kehamilan, juga dalam wayang, kebutuhan non-sandang dan berbagai penampilan kesenian. Kain batik bahkan memainkan peran utama dalam ritual tertentu.

Berbagai corak Batik Indonesia menandakan adanya berbagai pengaruh dari luar mulai dari kaligrafi Arab, burung phoenix dari Cina, bunga ceri dari Jepang, sampai burung merak dari India atau Persia. Tradisi membatik Indonesia juga diturunkan dari generasi ke generasi. Ini memperlihatkan batik terkait dengan identitas budaya rakyat indonesia. Berbagai arti simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreativitas dan spiritual rakyat Indonesia.

UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Daftar Representatif karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia, serta memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya tak-benda pada saat ini dan di masa mendatang. Dalam menyiapkan nominasi, para pihak terkait telah melakukan berbagai aktivitas, termasuk melakukan penelitian di lapangan, pengkajian, seminar, dan sebagainya untuk mendiskusikan isi dokumen dan memperkaya informasi secara bebas dan terbuka.

Depbudpar menyatakan masuknya Batik Indonesia dalam UNESCO Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity merupakan pengakuan internasional terhadap salah satu mata budaya Indonesia, sehingga diharapkan dapat memotivasi dan mengangkat harkat para pengrajin batik dan mendukung usaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Depbudpar menyatakan bahwa perjuangan supaya Batik Indonesia diakui UNESCO ini melibatkan banyak pihak, baik pemerintah, para pengrajin, pakar, asosiasi pengusaha dan yayasan atau lembaga batik, serta masyarakat luas. Perwakilan RI di negara anggota Tim Juri yaitu di Persatuan Emirat Arab, Turki, Estonia, Meksiko, Kenya dan Korea Selatan serta UNESCO-Paris turut memegang peranan penting dalam memperkenalkan batik secara lebih luas kepada para anggota Tim Juri, sehingga mereka lebih seksama mempelajari dokumen nominasi Batik Indonesia.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah memasukkan Batik Indonesia ke dalam Daftar Inventaris Mata Budaya Indonesia. Pada 2003 dan 2005 UNESCO telah mengakui Wayang dan Keris sebagai Karya Agung Budaya Lisan dan Tak-benda Warisan Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Cultural Heritage of Humanity).

Opini :

Sesungguhnya Indonesia kaya akan kebudayaannya, kita harus bangga sebagai masyarakat Indonesia . Pahami kebudayaannya, melestarikan dan menjaganya supaya terlindungi dari hak cipta dari Negara lain.

andi muhammad adha, 1ka02, 10112765

7 Jun

Prinsip Kepemimpinan Politik Manusia Bugis

KASMAN DG. MATUTU – MEMBER OF BUREAUCRATIC REFORM INSTITUTE, MAKASSAR

KEBIJAKSANAAN lokal merupakan khazanah warisan kebudayaan yang seharusnya senantiasa tetap mendapatkan perhatian dalam upaya bersama membangun sebuah bangsa majemuk yang berbudaya. Dari local wisdom tersebut, dapat diserap berbagai sari jati diri bangsa yang kaya akan keanekaragaman budaya dan  tradisi.

Pun dalam hal kepemimpinan, local wisdom menyediakan demikian banyaknya prinsip-prinsip dasar yang dapat diapresiasi secara lebih serius dalam upaya mengkonstruksi model kepemimpinan politik nasional. Dari local wisdom, dapat ditemukan semacam kearifan budaya yang demikian kuat membentuk kultur kepemimpinan lokal.

 

Jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan

Bugis sebagai salahsatu lokalitas yang membangun kebhinnekaan budaya Indonesia juga memiliki seperangkat local genious (kecerdasan lokal) yang dipraktekkan dalam kehidupan kultural mereka. Dalam local genious Bugis tersebut dapat pula ditarik beberapa prinsip dasar kepemimpinan pilitik manusia Bugis.

Menjadi Pemimpin
Khazanah kearifan lokal Bugis, dapat diperoleh dalam berbagai karya sastra Bugis klasik yang memuat beragam kearifan dan ternyata masih relevan dengan kehidupan sekarang ini. Beberapa sumber kearifan lokal tersebut adalah Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong. Di sana terdapat beragam warisan kearifan yang tak ternilai harganya.

Dalam hal kepemimpinan, maka hal mendasar yang ditekankan untuk diperhatikan dalam khazanah kearifan lokal Bugis adalah manusianya. Bagaimana kualitas seseorang yang akan menjadi pemimpin. Dalam Lontara Pappaseng To Riolota disebutkan sebuah pepatah Bugis, ”Duami kuala sappo, Unganna Panasa’e, Belo Kanukue” (dua hal yang kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku).

Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut ”lempu” yang berasosiasi dengan kata jujur. Sedangkan hiasan kuku ditulis dengan kata ”pacci” yang dalam bahasa Bugis juga bisa terbaca ”paccing” yang bermakna bersih dan suci. Jadi ada dua kualitas manusia yang pantas diangkat menjadi pagar atau penjaga bagi manusia lain, yaitu manusia yang jujur serta bersih dan suci.

Hanya manusia yang jujur serta bersih dan sucilah yang pantas diangkat jadi pemimpin. Dengan kejujurannya, maka orang tersebut tidak akan melalaikan amanah, dengan kebersihan dan kesucian hatinya, dia tidak akan berbuat dzalim terhadap rakyatnya.

Dalam pesan yang lain, ditemukan bahwa masyarakat Bugis akan menerima seorang pemimpin yang memenuhi karekter berikut, Maccai na malempu, Waraniwi na magetteng (Cendekia lagi jujur, Berani lagi teguh pendirian). Pemimpin yang baik bagi masyarakat Bugis adalah pemimpin yang cendekia dan jujur serta berani yang dilengkapi dengan keteguhan pada pendirian yang benar.

Pemimpin tidak hanya harus pandai dan cendekia melainkan harus disertai kejujuran agar pemimpin tersebut tidak membodohi rakyat yang dipimpinnya. Sementara itu, berani juga harus tetap dilengkapi dengan keteguhan pendirian untuk melengkapi kepandaian dan kejujuran agar pemimpin tersebut tidak menjadi bermodal nekad belaka, tapi keberanian yang dilandasi pertimbangan yang matang.

Lebih lanjut, dalam Lontara Sukku’na Wajo disebutkan beberapa kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi masyarakat Bugis, yaitu :

  1. Jujur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sesamanya manusia;
  2. Takut kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya;
  3. Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang dengan baik, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat pemerintah dan rakyatnya;
  4. Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya;
  5. Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendengar berita buruk (kritik) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan);
  6. Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat pemerintahan;
  7. Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya;
  8. Jujur dalam segala keputusannya.

Etika Kepemimpinan
Seorang yang terpilih menjadi pemimpin dituntut untuk memiliki bangunan etika tertentu yang menjadi prasyarat etis yang harus dipenuhi. Setidaknya ada 4 (empat) nilai etik utama bagi seorang pemimpin dalam konstruksi masyarakat Bugis, yaitu (1) niat yang tulus, (2) konsistensi, (3) rasa keadilan, dan (4) azas kepatutan.

Pertama, niat yang tulus. Seorang pemimpin harus berangkat dari niat yang tulus dan hati yang bersih, atau dikenal dengan istilah ati madeceng atau ati macinnong. Secara etis, seorang pemimpin diharapkan untuk menanggalkan semua bias motivasi ketika akan menduduki posisi kepemimpinan dalam masyarakat.

Dalam Lontara Paseng To Riolota, terdapat sebuah pesan yang berbunyi, ”Makkedatopi Arung Bila: eppa tanranna to madeceng kalawing ati. Seuani, passu’i ada na patuju. Maduanna, matuoi ada na sitinaja. Matellunna, duppai ada napasau. Ma’eppana, moloi ada na padapi” (artinya: “Berkata Arung Bila: empat tanda orang yang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat melaksanakan kata-katanya dan mencapai sasaran”).

Bila seseorang telah memiliki niat yang tulus, maka akan berimplikasi pada prasyarat etis yang kedua, yaitu konsistensi yang ditandai dengan satunya kata dan perbuatan. Masyarakat Bugis memahami betul petuah ”Taro ada taro gau” yang berarti satunya kata dan perbuatan. Pesan ini benar-benar dihayati oleh seorang pemimpin Bugis.

Sebagai contoh, ada riwayat tentang Lamanussa Toakkarangen ketika menjadi Datu Soppeng. Pada masa pemerintahannya, rakyat Soppeng mengalami kelaparan yang timbul karena paceklik sebagai efek dari kemarau panjang yang melanda negeri. Melihat kondisi ini, Datu meneliti apakah ada pejabatnya yangg melakukan tindakan dzalim kepada rakyat? Ternyata tidak ada.

Setelah Datu merenungkan lebih dalam, dia kemudian teringat pernah mengambil sesuatu dari rakyat dan disimpannya sebagai pribadi. Datu menyadai hal tersebut dan mengakui perbuatannya di depan umum dan bersedia mengembalikan barang tersebut. Sebagai hukuman atas tindakannya tersebut, Datu menyembelih kerbau dan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat.

Nilai etis ketiga adalah rasa keadilan. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus menjaga rasa keadilan masyarakat dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pepatah Bugis mengatakan, ”Ri pariaja’i ri aja’e, ri parialau’i rialau’e, ri parimaniangngi ri maniangnge, ri parimanorangngi manorangnge. Ri pari ase’i ri ase’e, ri pariawa’i ri awa’e”.

Pesan ini berarti, ”tempatkanlah di barat apa yang memang seharusnya di barat, di timur yang memang seharusnya di timur, di selatan yang memang seharusnya di selatan, di utara yang memang seharusnya di utara. Tempatkanlah di atas apa yang memang seharusnya di atas, di bawah yang memang seharusnya di bawah”.

Nilai etik ini menjadi panduan dalam menegakkan keadilan masyarakat. Salahkanlah siapa yang memang bersalah, siapapun dia. Dan belalah yang benar, meskipun dia bukan siapa-siapa. Hargai yang tua, sayangi yang muda. 

Penegakan rasa keadilan akan mendorong munculnya niali etik keempat, azas kepatutan. Para tetua Bugis memesankan, ”Mappasitinaja atau mappasikoa” atau memperhatikan azas kepatutan sesuatu. Sebuah pepatah Bugis mempertegas hal ini, ”Aja’ muangoai onrong, aja’to muacinnai tanre tudangeng. De’tu mulle’i padecengi tana. Ri sappa’po muompo, ri jello’po muakkengau” .

Arti dari pesan ini adalah, ”jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”. Azas kepatutan juga mendasarkan agar seseorang memiliki sikap mawas diri dan atau sadar diri.